Senin, 09 Januari 2012

Otoritas Negara dan Agama


Oleh. La Ode Machdani Afala*
Indonesia adalah sebuah negara yang plural, apalagi kehidupan beragamanya dengan adanya berbagai pluralitas dalam internal dalam satu agama maupun pluralitas ekternal dengan adanya agama-agama lainnya seperti Islam, Kristen, Budha, Hindu. Kehidupan beragama saat ini menjadi polemik tersendiri karena sikap dan cara pandang suatu agama terhadap agama-agama lainnya. Sikap ini pada akhirnya melahirkan presepsi masyarakat yang negatif terhadap lahirnya kelompok-kelompok agama yang cenderung anarkis dan brutal serta dicap agama teroris.

Pertanyaan yang penting sebenarnya adalah sejauhmana negara mengintervensi kehidupan beragama?. Pada kelompok agama semisal MUI yang memiliki otoritas mengeluarkan fatwa kadang terjadi kontraproduktif karena fatwa-fatwa yang tidak kontekstual sehingga cenderung diabaikan oleh umat beragama. Misalnya, fatwa haramnya pluralisme yang bertolak belakang dengan semangat bhineka tunggal Ika. Sekalipun  fatwa itu sendiri dalam pandangan demokrasi merupakan kebebasan berpendapat sehingga tidak boleh dilarang hanya kapasitas fatwa sebagai aturan itu sendiri yang harus di pertegas dan dipertanyakan.

Dalam kehidupan beragama, kehadiran negara sebenarnya sebagai jawaban terhadap kebutuhan sosiologi manusia yang mempunyai otoritas mengatur kehidupan beragama agar tidak terjadi konflik dan kekacauan sosial. Sehingga kapasitas negara dalam kehidupan beragama lebih pada melihat bagaimana dampak dari kasus-kasus dalam kehidupan itu, bukan pada urusan agamanya atas keyakinan yang dianut oleh setiap manusianya sebagaimana kasus Ahmadiyah.

Kebebasan beragama yang dijamin oleh undang-undang menjadi landasan atas pengaturan kehidupan beragama. Landasan demokratis dan sikap yang toleran itu menjadi bahagian penting dari tugas negara. Oleh karena itu, lembaga-lembaga keagamaan berada pada posisi sebagai perpanjangan negara untuk membantu pengaturan dalam kehidupan beragama, terutama untuk meredam dan mengendalikan segala bentuk kekacauan yang mengatasnamakan agama. Akan tetapi distribusi kekuasaan oleh negara tersebut bukan berarti mengikuti kemauan negara secara sepihak. Pada akhirnya lembaga-lembaga keagamaan dilihat sebagai preferensi bagi negara atas polemik kehidupan beragama.

Keberadaan negara dengan otoritasnya tidak justru dianggap sebagai mengintervensi kelompok-kelompok agama dan menghilangkan otoritasnya tapi lebih pada membatasi otoritas itu sebagai efek dari dampak sosial yang akan ditimbulkannya.

        *Pernah di terbitkan di Koran Fajar Makassar 2011
*Penulis adalah Direktur Eksekutif Pusat Studi Demokrasi Unhas (PSD-UH), mahasiswa Jurusan Ilmu Pemerintahan Unhas, angkatan 2006.

0 komentar:

Posting Komentar