Senin, 09 Januari 2012

Otoritas Negara dan Agama


Oleh. La Ode Machdani Afala*
Indonesia adalah sebuah negara yang plural, apalagi kehidupan beragamanya dengan adanya berbagai pluralitas dalam internal dalam satu agama maupun pluralitas ekternal dengan adanya agama-agama lainnya seperti Islam, Kristen, Budha, Hindu. Kehidupan beragama saat ini menjadi polemik tersendiri karena sikap dan cara pandang suatu agama terhadap agama-agama lainnya. Sikap ini pada akhirnya melahirkan presepsi masyarakat yang negatif terhadap lahirnya kelompok-kelompok agama yang cenderung anarkis dan brutal serta dicap agama teroris.

Pertanyaan yang penting sebenarnya adalah sejauhmana negara mengintervensi kehidupan beragama?. Pada kelompok agama semisal MUI yang memiliki otoritas mengeluarkan fatwa kadang terjadi kontraproduktif karena fatwa-fatwa yang tidak kontekstual sehingga cenderung diabaikan oleh umat beragama. Misalnya, fatwa haramnya pluralisme yang bertolak belakang dengan semangat bhineka tunggal Ika. Sekalipun  fatwa itu sendiri dalam pandangan demokrasi merupakan kebebasan berpendapat sehingga tidak boleh dilarang hanya kapasitas fatwa sebagai aturan itu sendiri yang harus di pertegas dan dipertanyakan.

Dalam kehidupan beragama, kehadiran negara sebenarnya sebagai jawaban terhadap kebutuhan sosiologi manusia yang mempunyai otoritas mengatur kehidupan beragama agar tidak terjadi konflik dan kekacauan sosial. Sehingga kapasitas negara dalam kehidupan beragama lebih pada melihat bagaimana dampak dari kasus-kasus dalam kehidupan itu, bukan pada urusan agamanya atas keyakinan yang dianut oleh setiap manusianya sebagaimana kasus Ahmadiyah.

Kebebasan beragama yang dijamin oleh undang-undang menjadi landasan atas pengaturan kehidupan beragama. Landasan demokratis dan sikap yang toleran itu menjadi bahagian penting dari tugas negara. Oleh karena itu, lembaga-lembaga keagamaan berada pada posisi sebagai perpanjangan negara untuk membantu pengaturan dalam kehidupan beragama, terutama untuk meredam dan mengendalikan segala bentuk kekacauan yang mengatasnamakan agama. Akan tetapi distribusi kekuasaan oleh negara tersebut bukan berarti mengikuti kemauan negara secara sepihak. Pada akhirnya lembaga-lembaga keagamaan dilihat sebagai preferensi bagi negara atas polemik kehidupan beragama.

Keberadaan negara dengan otoritasnya tidak justru dianggap sebagai mengintervensi kelompok-kelompok agama dan menghilangkan otoritasnya tapi lebih pada membatasi otoritas itu sebagai efek dari dampak sosial yang akan ditimbulkannya.

        *Pernah di terbitkan di Koran Fajar Makassar 2011
*Penulis adalah Direktur Eksekutif Pusat Studi Demokrasi Unhas (PSD-UH), mahasiswa Jurusan Ilmu Pemerintahan Unhas, angkatan 2006.

ILUSI NEGARA ISLAM


Oleh. La Ode  Machdani Afala*

Tema Negara Islam sebenarnya menjadi tema klasik, namun masih cukup menarik dan seksi untuk didiskusikan atau dibicarakan. Keislaman Indonesia dinilai pula menampilkan wajah unik yang berbeda, lebih moderat dan toleran. Meski demikian, persepsi populer terkait Islam Indonesia masih menunjukkan pola yang bertolak belakang, apalagi dengan munculnya Negara Islam Indonesia (NII) yang santer diberitakan oleh berbagai media akhir-akhir ini.

Indonesia adalah sebuah negara yang plural. Pluralitas negara kesatuan republik Indonesia bisa dilihat dari keanekaragaman ras, suku, bahasa (daerah), adat istiadat dan agama bangsa Indonesia. Keberagaman ini menjadi sebuah kekayaan yang muncul karena proses historisasi,  potensi dan kemampuan intelektual manusia yang berbeda-beda dalam perkembangannya. Namun, apabila kekayaan ini tidak dikelola dengan baik, dapat menjadi ancaman yang berakibat fatal. Keberagaman bangsa Indonesia pada dasarnya dapat dijadikan amunisi untuk mempersatukan atau bahkan memecah persatuan yang bisa berakhir pada hancurnya stabilitas negara. Munculnya usaha untuk disintegrasi di berbagai wilayah RI menjadi bukti konkrit dari problem ini.

Dalam rentang sejarah, di Indonesia terjadi banyak peristiwa yang salah satu disebabkan kasus SARA. Peristiwa Ambon, Poso, Sampit, Aceh sampai kasus dukun santet di Jawa Timur, semua diisukan bersumber dari SARA, lebih khusus masalah agama, munculnya aliran sesat (Ahmadiyah) dan adanya prilaku organisasi keagamaan yang cenderung radikal dan brutal di mata masyarakat, termasuk kasus teroris dengan maraknya ancaman bom di beberapa tempat yang sering dikaitkan dengan orang-orang beragama. Agama adalah obyek yang paling gampang untuk dijadikan kambing hitam. Bentrok antar pendukung partai berbasis agama yang pernah terjadi di beberapa daerah, agama pun dianggap sebagai biang keroknya. Perkara kriminalitas yang dengan jelas disebabkan murni politik, namun agama dijadikan sasaran pengkambinghitaman. Rentetan kasus ini menjadikan sebagian orang melihat Islam Indonesia dengan persepsi Islamofobia, merujuk aksi kekerasan dan teror yang dilakukan oleh sejumlah kelompok Islam.

Tapi yang menjadi pertanyaan adalah asumsi apa yang menjadi dasar analisis tentang mana yang sumber utama dan mana yang merupakan faktor penunjang terhadap lahirnya gerakan mendirikan Negara Islam? Jika doktrin keagamaan diasumsikan sebagai sumber utama, maka sumber yang lain adalah faktor penunjang atau yang ikut mempengaruhi dan memperkuat kecenderungan. Jika tidak demikian, maka doktrin keagamaan Islam berkedudukan sebagai sumber legitimasi yang dipolitisasi.

Teori Politik Islam
Secara sederhana, agama adalah sekumpulan keyakinan, perintah, atau larangan yang menurut pengakuan pembawanya berasal dari Tuhan. Agama Islam bagi penganutnya adalah rahmatan lil alamin. Akan tetapi konsep itu membutuhkan pengkajian yang komperhensif dan kontekstual dengan memperhatikan prinsip keadilan sebagai sunatullah sehingga manusia harus memikirkan kerangka kerjanya seadil mungkin tanpa ada diskriminasi dan paksaan atas suatu golongan manusia lainnya.

Lahirnya istilah Negara Islam, yang dilekatkan dengan kata ’Islam’, pada dasarnya menggambarkan sebuah ideologi yang digunakan oleh sebuah negara yang menunjukkan sistem dan tatanan politiknya. Sistem tersebut menjadi dasar dalam menentukan sikap terhadap kejadian dan problem politik yang dihadapinya dan menentukan tingkah laku politiknya. Dalam artian, sebuah negara yang berdasarkan prinsip-prinsip agama (Islam). Sekalipun dalam berbagai tafsiran Negara Islam sendiri didasarkan pada; 1) cara memerintah negara berdasarkan kepercayaan bahwa Tuhan langsung memerintah negara. 2) hukum yang berlaku adalah hukum Tuhan, dan 3) pemerintahan dipegang oleh ulama atau organisasi keagamaan.

Kajian tentang teori politik Islam telah lama dilakukan oleh para ulama atau cendekiawan Muslim, misalnya, Al-Farabi (w. 950) dengan karyanya Ara’ Ahl al-Madinah al-Fadlilah, al-Mawardi (w. 1059) dan Abu Ya’la al-Hanbali (w. 1057),  Ibnu Taimiyah (w. 1329) dan Ibnu Khaldun (w. 1406). Sejak awal abad ke-20, pemikiran politik Islam semakin semarak ditulis dan didiskusikan. Paling tidak, ada tiga macam pemikiran terkait dengan Islam dan politik. Pertama, pemikiran bahwa Islam adalah agama yang tidak memiliki sistem politik. Tokoh yang paling vokal menyuarakan wacana ini adalah Thaha Husain (w. 1973) dan Ali Abd al-Raziq (w. 1966). Kedua, pemikiran bahwa Islam dan politik adalah dua hal tak bisa dipisahkan (al-din wa al-daulah). Tokoh utama pemikirin ini adalah Hassan al-Banna (w. 1949), Sayyid Quthb (w. 1966), Muhammad Rasyid Ridha (w. 1935), dan Abu al-A’la Mawdudi (w. 1979. Ketiga, pemikiran bahwa Islam memang tidak memiliki sistem pemerintahan, namun ada nilai-nilai etika yang dapat digunakan untuk mewarnai negara, seperti keadilan, persamaan, musyawarah, dan lain-lain. Tokoh yang terkenal menyuarakan pendapat ini adalah Muhammad Husain Haikal (w. 1956), seorang sejarawan Mesir.

Tujuan Negara
Keberadaan sebuah Negara sebagai instrumen dan diibaratkan bagaikan bahtera yang mengangkut para penumpangnya dari berbagai komponen masyarakat menuju pelabuhan kesejahteraan (adil, aman, makmur, dan bahagia jasmaniah dan rohaniah). Jadi, negara menjadi alat bagi pencapaian kesejahteraan dan kemakmuran rakyatnya. Oleh karena itu, keberagaman (pluralitas) negara Indonesia merupakan modal dasar untuk penerapan konsep masyarakat religius, makmur dan sejahtera pada bangsa Indonesia sesuai dengan semangat keberagamaan bangsa.  

Negara Pancasila
Negara Indonesia bukanlah negara agama atau dengan mazhab tertentu, namun Indonesia adalah negara agamis berdasarkan UUD 45 dan Pancasila. Dalam arti, tatanan kenegaraan Indonesia tidak didasari oleh ideologi agama atau mazhab tertentu, namun negara dan bangsa Indonesia sangat menjunjung tinggi norma-norma keagamaan. Sehingga, segala pemikiran dan usaha untuk menggeser norma-norma agama akan tersingkir dari lubuk bangsa. Disisi lain, bangsa Indonesia memiliki corak dan watak masyarakat Timur yang kental dengan toleransi, teposeliro (tenggang rasa) dan gotong-royong antar sesama yang lahir dari pluralitas negara kesatuan republik Indonesia. Oleh karenanya, segala bentuk tindakan kriminal, kekerasan dan arogansi baik dengan kemasan premanisme, intelektualisme, maupun spiritualisme agama akan mendapat reaksi keras dari berbagai lapisan masyarakat.

Perbedaan yang mendasar antara konsep Negara Pancasila dan Negara Islam menurut paham Islam ortodoks adalah, bahwa Negara Islam didasarkan pada doktrin kedaulatan Tuhan sedangkan Negara Pancasila didasarkan pada doktrin kedaulatan rakyat. Para ulama seperti Abul A’la al-Maududi, Sayyed Qutb dan Naqiyuddin al-Nabhani memandang demokrasi sebagai doktrin syririk karena menyandingi dan bahkan menggantikan kedaulatan Tuhan dengan doktrin kedaulatan rakyat. Tapi yang dianggap dapat memahami hukum Tuhan adalah para ulama, sehingga ulama memiliki otoritas untuk menerjemahkan hukum Tuhan. Negara Islam yang dipahami oleh para ulama tersebut sebenarnya adalah negara teokrasi yang tidak langsung, dimana kedaulatan Tuhan pada dasarnya tidak murni karena kedaulatan itu dijalankan oleh para ulama yang harus melakukan penafsiran terhadap otoritas agama (Al-Qur’an) untuk menemukan jabawan terhadap realitas sosial yang situasional dan dimanis. Oleh karena itu, banyaknya penafsiran yang berbeda yang diakibatkan oleh kemampuan intelektual yang berbeda, maka konsep Negara Islam pun harus terbuka terhadap tafsiran-tafsiran baru yang kontekstual dan rasional.

Konsep demokrasi yang dikritik oleh para ulama seperti Abul A’la al-Maududi, Sayyed Qutb dan Naqiyuddin al-Nabhani adalah konsep barat yang telah mengalami proses univesalisasi dan metamorfosis yang berkembang pada kondisi yang berbeda-beda sesuai dengan konteks sehingga konsep demokrasi sendiri memiliki banyak model karena perkembangan pengetahuan manusia dalam menjawab dan memenuhi kebutuhan zaman. Secara umum, konsep demokrasi sama dengan konsep ‘syura’ dalam istilah agama yang mendahulukan musyawarah dan baiat (legitimasi) masyarakat sebagaimana pernah diterapkan dalam proses terpilihanya khalifah Abu Bakar dalam sejarah al-Khulafa al-Rasyidin. Konsep demokrasi ini pada dasarnya memang didasarkan pada kedaulatan rakyat. Akan tetapi, rakyat yang didefenisikan sebagai sesuatu yang menyangkut kebaikan bersama, mementingkan kepentingkan publik dalam sebuah Negara, bukan kepentingan elite dan kelompok tertentu.

Dalam perkembang konsep demokrasi modern terjadi perpaduan sistem teokrasi dan demokrasi dimana pemerintahan negara menjadikan Islam (konsep-konsep pemerintahan Islam) acuan dalam sistem pemerintahan dipadukan dengan unsur-unsur demokrasi. Pemerintahan Negara adalah pemerintahan Islam yang terlepas dari pengaruh barat ataupun timur. Sistem ini oleh Kuntowijoyo yang disebut dengan sistem theo-demokrasi. Karena sistem ini berlandaskan prinsip-prinsip ajaran Islam dan menghargai partisipasi masyarakat dalam Negara (adanya prinsip aseptabilitas dalam istilah politik). Sekalipun dalam praktik demokrasi selalu akan melahirkan mayoritas dan minoritas akan tetapi prinsip “mayority is rule, minority is right” harus di perjuangkan dalam artian suara mayoritas akan diikuti akan tetapi tidak menindas suara kaum minoritas (toleransi).

Oleh karena itu, jika diasumsikan bahwa sumber aspirasi Negara Islam adalah doktrin komprehensif Islam yang dominan dan menjadikan Negara Indonesia menjadi Negara Islam mungkinkah masyarakat yang berbeda agama dan mazhab akan dapat hidup rukun dan damai saling berdampingan? Ataukah kehidupan rukun dan damai hanya dapat terealisasi jika masyarakat menganut satu agama/mazhab? Apatalagi kondisi sosio-budaya bangsa Indonesia yang plural, apakah rakyat Indonesia yang berbeda agama akan berlapang dada untuk menerima ketika Indonesia adalah Negara Islam?

Adalah suatu kenyataan bahwa gagasan Pancasila sebagai ideologi negara dapat diterima oleh semua golongan, baik yang mayoritas maupun yang minoritas di Indonesia. Hal ini disebabkan karena Pancasila didasarkan pada asumsi masyarakat yang plural yang terbangun dari kepribadian bangsa dan dasar pandangannya tidak mengikuti sektarianisme sehingga bersifat impersonal dan dapat dipahami oleh semua golongan. Kekuatan dan keistimewaan Pancasila adalah kemampuannya untuk mempersatukan masyarakat yang plural yang memiliki potensi konflik dan perpecahan. Di lain pihak doktrin Islam juga belum mampu mendorong pembangunan peradaban besar yang aman, damai dan sejahtera. Bahkan Islam dalam wacana dunia diidentikkan sebagai agama kaum teroris, walaupun terorisme bisa terjadi di mana saja yang mengatas namakan agama apa saja dan dalam kenyataannya.

Dengan perkataan lain cita-cita Negara Islam masih merupakan suatu ilusi, sebagaimana disebut oleh K.H. Abdurrahman Wahid. Karena itu perjuangan menegakkan cita-cita Negara Islam harus didahului dengan pengembangan pemikiran secara ilmiah, dalam arti membahas aspek ontologi berupa pengungkapan analisis tentang kondisi dan persoalan-persoalan masyarakat Indonesia dan dunia pada umumnya sebagai latar belakang dari cita-cita sebuah negara Islam. Kedua adalah aspek epistemologi, yaitu pendekatan dan teori yang dipakai untuk memahami dan memecahkan persoalan-persoalan masyarakat. Dan ketiga adalah aspek aksiologi, yaitu cita-cita dan nilai guna dari lembaga yang disebut Negara Islam. Pemikiran mengenai Negara Islam itu kemudian di bawa ke ruang publik dan terlebih dahulu dibawa ke ruang akademis.

Kajian tentang Negara Islam bagi umat Islam merupakan tantangan. Sebab, umat Islam yang menentang konsep negara modern yang dapat disebut sebagai negara demokrasi liberal atau negara hukum-demokrastis belum memiliki konsep alternatif yang rigit dan jelas yang dapat dipahami dan diterima oleh masyarakat Indonesia.

                                        *Pernah di terbitkan di Koran Identitas Universitas Hasanuddin, 2011
                        *Penulis adalah Direktur Eksekutif Pusat Studi Demokrasi Unhas (PSD-UH), mahasiswa Jurusan Ilmu Pemerintahan Unhas, angkatan 2006.

Demokrasi dalam Republik

Demokrasi dalam Republik
Oleh: La Ode Machdani Afala*
Kedamaian suatu negara dapat dilihat dari penataan hubungan antara rakyat dengan pemerintahnya dalam sistem politik yang lebih adil dalam lebih toleran. Pengakuan hak-hak rakyat oleh pemerintah melalui penataan yang baik adalah kekuatan dalam membangun keutuhan negara. Negara yang demokratis tidak menginginkan pemerintahan yang sewenang-wenang, apatalagi tidak menghormati kemanusiaan.  Keberadaan negara pada dasarnya dibangun atas dasar kepentingan umum (res-publica) sebagaimana kehendak dari sebuah negara republik. Republik yang berpihak kepada kepentingan umum demi kebaikan bersama.

Di abad modern, banyak negara yang menggunakan bentuk pemerintahan republik. Hal ini, terjadi sebagai efek dari masa kelam abad pertengahan, dimana banyak negara Eropa menggunakan model pemerintahan teokrasi dan monarki (kerajaan). Negara-negara di abad itu, banyak dipengaruhi oleh otoritas agama sehingga kekuasaan seorang raja sangat dipengaruhi oleh otoritas agama. Kaum agamawan menjadi pusat dari segala kekuasaan atas kehidupan manusia dan kebijakan para raja.  Kekuasaan para raja hanya bisa dijalankan dengan petunjuk dari para kaum agamawan. Di masa itu, Agustinus (350-430 M) membagi negara atas dua bagian; Civitas Dei artinya negara Tuhan dan Civitas Terrena/diaboli artinya negara duniawi/negara iblis. Civitas diaboli ditolak oleh Agustinus karena hanya mengejar dunia belaka. Dia lebih cenderung memilih Civitas Dei. Negara tuhan bukanlah negara dunia ini, akan tetapi jiwanya yang dimiliki sebagian oleh beberapa orang di dunia untuk mencapainnya, yang melaksanakan itu adalah gereja yang mewakili negara Tuhan. Civitas diaboli adalah kerajaan yang diperintah oleh kaisar yang tidak mempunyai rasa keadilan. Keadilan hanya bisa dicapai menurut Agustinus jika negara diperintah oleh seorang agamawan dalam civitas dei. Hanya dengan mengejar ke arah Tuhan orang dapat mencapai hidup bahagia selama-lamanya.

Sebelum abad pertengahan berakhir, lahir negara-negara (nasional state) di Eropa barat pada permulaan abad ke-16. Perkembangan selanjutnya negara-negara yang dimaksud mengalami perubahan sosial dan kultural memasuki era yang lebih modern sehingga mereka mampu mencerahkan diri dari persoalan suku, bangsa dan negara. Masa renaissance yang dipelopori oleh Eropa selatan (Italia) pada 1350-1600 M dan reformasi tahun 1500-1650 M yang menghidupkan kembali minat manusia kepada kesusasteraan dan kebudayaan yunani kuno yang selama abad pertengahan telah disisihkan. Aliran ini lebih mengeskspolorasi konsep-konsep duniawi dan materi dibandingkan keagamaan. Reformasi dan perang agama menyebabkan manusia lepas dari dominasi dan kungkungan gereja baik spiritual dalam bentuk dogma maupun bidang sosial dan politik. Pertentangan dan pergumulan ini selanjutnya memunculkan konsep kebebasan beragama dan dikotomi antara negara dan dunia khususnya bidang pemerintahan. Kebebasan berpikir membuka jalan untuk meluaskan gagasan dibidang politik. Timbullah gagasan bahwa manusia mempunyai hak-hak politik yang tidak boleh diselewengkan oleh raja. Apabila raja menyeleweng dalam memerintah maka raja pantas dikritik dan koreksi oleh rakyatnya meskipun kekuasaan raja saat itu tidak terbatas.

Dalam perkembangannya kemudian, keberadaan pemerintahan monarki menghiasi sejarah sesudah berakhirnya abad pertengahan. Monarki-monarki absolut ini ada sejak tahun 1500 M samapi 1700 M. Raja-raja absolut menganggap dirinya berhak atas tahta berdasarkan konsep Hak Suci Raja (divine right of kings). Hal ini dipraktekan oleh raja Louis XIV dari Prancis dengan ucapannya I’e etas c’est moi (negara adalah aku) dan beberapa model monarki yang sudah termasuk ke dalam monarki konstitusional sebagai salah satu bentuk perkembangan dari monarki itu sendiri. Penganjur monarki konstitusional adalah John Locke yang dapat diterima di Inggris setelah lahirnya piagam Bill of Right (1689) .

Republik Otoriter dan Indonesia
Nicollo Machiavelli memaparkan bahwa negara itu ada dua macam ; res-publica (republik) dan pricipar (kerajaan). Baginya negara adalah genus, republik dan kerajaan adalah species. Perbedaan republik dan kerajaan dilihat berdasarkan cara pembentukan kemauan (tujuan) negara. Dalam pemerintahan kerajaan, tujuan pembentukan negara atau pemerintahan oleh personal. Personal raja yang menginginkan kekuasaan dan pemerintahannya digunakan sebagai alat untuk memenuhi kepentingannya, sedangkan republik pembentukan pemerintahannya berdasarkan rakyat banyak dan pemerintahannya berdasarkan kepentingan orang banyak. Kepentingan pribadi dimarginalkan. Konsep negara Machiavelli itu, lahir sebagai bentuk penentangannya terhadap negara teokrasi dan monarki yang banyak dipraktekan di abad pertengahan.

Kata republik berasal dari kata res artinya kepentingan dan publica artinya umum. Jadi artinya mengurus kepentingan umum. Republik merupakan bentuk pemerintahan yang berkedaulatan rakyat dan dikepalai oleh presiden. Dalam pemerintahan republik, organisasi negara ditujukan untuk kepentingan umum. Rakyatlah yang menentukan pemerintahan, termasuk menentukan kepala negara yang dinamakan presiden dengan waktu yang ditentukan rakyat dan rakyat mempunyai hak yang sama dalam segala bidang kehidupan. Dalam negara republik terdapat dua kecenderungan atau sifat; republik otoriter dan republik demokratis.

Negara Indonesia pada awal kemerdekaannya telah menyatakan dirinya sebagai negara republik. Negara kesatuan republik sejak tahun 1945. Dalam rentang sejarah, Indonesia pada tahun 1949-1950 pernah menjadi negara republik Indonesia serikat. Sedangkan pada masa orde baru, di era presiden Soeharto negara Indonesia adalah negara republik yang otoriter. Keotoriteran Soeharto nampak dari kekuasaanya (eksekutif) yang bisa mengendalikan parlemen, kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan yang tidak berasaskan kehendak masyarakat banyak sebagaimana prinsip republik dan demokrasi itu sendiri untuk kepentingan umum dan lamanya berkuasa sampai dengan 32 tahun.

Pada masa Orde baru Soeharto, kebebasan pers, media dan kebebasan membentukan organisasi telah diberikan ruang. Akan tetapi, keberadaan organisasi/partai politik dan pers serta lembaga perwakilan rakyat dan lembaga negara lainnya hanya dianggap formalitas belaka karena semua kebijakan dikendalikan oleh pemerintahan yang berkuasa malalui kekuatan militer. Partai politik dan pers tidak dapat menjalankan fungsinya dengan baik karena intervensi yang sangat tinggi oleh pemerintah. Golongan karya yang dianggap partai pada akhirnya tidak mau disebut partai. Pada akhirnya, aspirasi rakyat hanya dianggap formalitas belaka untuk memenuhi standar sebagai negara republik. Intervensi eksekutif dalam hal ini presiden Soeharto terjadi pada semua lini kehidupan bernegara. Ini bukti kekuasaan yang otoriter di masa orde baru. Negara, di era ini sangat kuat karena kekuasaan dikendalikan oleh seorang penguasa otoriter lewat kekuatan militer. Inilah potret pemerintahan masa orde baru Indonesia.

Republik Demokratis dan Indonesia

Di Indonesia, pada tahun 1998 pasca orde baru yang ditandai dengan kejatuhan Soeharto yang berarti awal lahirnya reformasi, telah mengalami perubahan yang sangat besar dalam segala bidang. Reformasi juga di tandai dengan kebebasan yang dimiliki tiap masyarakat, dimana setiap orang diberikan jaminan oleh undang-undang untuk bebas berekspresi, mengeluarkan pendapat, berserikat dan berkumpul, serta kebebasan pers dan media. Era ini menandai lahirnya demokrasi bagi bangsa Indonesia.

Negara Indonesia sampai pada saat ini telah memasuki 13 tahun reformasi. Reformasi yang ditandai dengan demokrasi ini justru bagi sebagian orang dianggap gagal penerapannya di Indonesia. Sekalipun pada sebagian orang lainnya masih mentolerir ketidakharmonisan demokrasi dalam republik di era reformasi. Hal ini disebabkan karena mereka mengganggap negara Indonesia masih dalam tahap transisi demokrasi. Akan tetapi jika dilihat dari perjalanan reformasi dari tahun ke tahun yang umurnya telah melampaui satu dasawarsa ini, demokrasi substansial yang diharapkan di awal reformasi semakin jauh dari harapan. Demokrasi yang dianggap sebagai aturan yang memuat prinsip-prinsip demokratis, yaitu keadilan, persamaan, kebebasan dan pengakuan atas hak milik pribadi atau menurut Robert Dahl, prinsip  demokrasi, yaitu adanya akuntabilitas, rotasi kekuasaan, rekruitmen politik terbuka, pemilu dan menikmati hak-hak dasar tidak terjadi di Indonesia. Prinsip-prinsip itu hanya dilaksanakan pada tingkat prosedural, tetapi tidak secara substansial. Kesenjangan ini semakin menjauhkan dari harapan untuk merealisasikan kesejahteraan rakyat Indonesia. Dalam demokrasi, pemerintah bukanlah penguasa yang sesungguhnya, karena pemerintah merupakan pelayan masyarakat, sebagai pemilik kedaulatan dan kekuasaan yang sejati. Kebebasan yang dimiliki oleh rakyat sebagai buah demokrasi dan reformasi justru melahirkan anarkisme karena kebebasan itu tidak dibarengi dengan regulasi yang dibuat oleh pemerintah dalam menetapkan tingkat kebebasan dari rakyat. Kondisi inilah yang melahirkan ketidakstabilan dalam negara Indonesia.

Sikap pesimis terhadap demokrasi kemudian menjadikan rakyat fobia terhadap apapun yang mempuyai embel-embe demokrasi. Hal ini sebagai efek dari banyaknya kasus-kasus yang terjadi di era reformasi mulai dari kasus hukum terutama kasus korupsi yang merajalela dan menjamur pada semua tingkatan masyarakat dan struktur pemerintahan, kasus politik pemerintahan khususnya masalah kisruh partai politik, otonomi daerah, pemekaran dan pemberian otonomi khusus (Aceh dan Papua) yang dianggap tidak menyelesaikan masalah, masalah sosial khususnya tentang kemiskinan yang sekalipun secara kuantitas berdasarkan perhitungan pemerintah berkurang tiap tahun, tapi pada dasarnya secara kualitas masih banyak masyarakat yang berada di bawah garis kemiskinan, kemudian masalah kesehatan dan pendidikan yang terlampau mahal bagi masyarakat tingkat bawah sehingga susuah untuk di akses. Kasus belakangan ini yang sering muncul adalah masalah kebebasan beragama dan kekerasan atas nama agama yang sampai pada hari ini masih menimbulkan polemik. Secara kelembagaan memang demokrasi itu seolah-olah ada, misalnya saja ada partai politik, pers, dan lembaga perwakilan rakyat. Tetapi, secara factual demokrasi menjadi sulit terlihat karena arena partisipasi politik terbatasi dan terkontaminasi dengan berbagai tendensi pragmatis dan politis sebagai akibat buah demokrasi dan reformasi yang melahirkan kebebasan yang tanpa batas.

Pada dasarnya, demokrasi dan republik memiliki kesamaan prinsip untuk memperjuangkan kepentingan umum. Seyogyanya demokrasi dalam republik Indonesia bisa melahirkan sikap;(1) toleransi dari mayoritas kepada minoritas. Disini tercermin pula saling melindungi, saling menghargai dan yang besar mengayomi yang kecil (2) adanya musyawarah dalam memutuskan setiap pesoalan, bukan ditentukan sendiri oleh kelompok yang mayoritas, karena akan berubah menjadi tirani mayoritas (3) adanya aturan hukum yang diterapkan untuk semuanya tanpa pandang bulu. Demokrasi tanpa aturan hukum akan menjadi anarkis. Karena itu, hukum merupakan dasar yang paling penting untuk menjaga hubungan antara rakyat dan negara demi kebaikan dan kesejahteraan rakyat.

Pada akhirnya, republik yang dianut Indonesia tidak bisa dikatakan demokratis  sekalipun pada kenyataannya bahwa era reformasi telah membuka ruang demokrasi bagi setiap warga negara. Republik yang dianggap akan melahirkan demokratisasi justru mengarah pada absurbditas demokrasi yang tidak jauh berbeda dengan republik yang memiliki sifat otoriter di era Soeharto dan monarki di akhir abad pertengahan.