Senin, 09 Januari 2012

ILUSI NEGARA ISLAM


Oleh. La Ode  Machdani Afala*

Tema Negara Islam sebenarnya menjadi tema klasik, namun masih cukup menarik dan seksi untuk didiskusikan atau dibicarakan. Keislaman Indonesia dinilai pula menampilkan wajah unik yang berbeda, lebih moderat dan toleran. Meski demikian, persepsi populer terkait Islam Indonesia masih menunjukkan pola yang bertolak belakang, apalagi dengan munculnya Negara Islam Indonesia (NII) yang santer diberitakan oleh berbagai media akhir-akhir ini.

Indonesia adalah sebuah negara yang plural. Pluralitas negara kesatuan republik Indonesia bisa dilihat dari keanekaragaman ras, suku, bahasa (daerah), adat istiadat dan agama bangsa Indonesia. Keberagaman ini menjadi sebuah kekayaan yang muncul karena proses historisasi,  potensi dan kemampuan intelektual manusia yang berbeda-beda dalam perkembangannya. Namun, apabila kekayaan ini tidak dikelola dengan baik, dapat menjadi ancaman yang berakibat fatal. Keberagaman bangsa Indonesia pada dasarnya dapat dijadikan amunisi untuk mempersatukan atau bahkan memecah persatuan yang bisa berakhir pada hancurnya stabilitas negara. Munculnya usaha untuk disintegrasi di berbagai wilayah RI menjadi bukti konkrit dari problem ini.

Dalam rentang sejarah, di Indonesia terjadi banyak peristiwa yang salah satu disebabkan kasus SARA. Peristiwa Ambon, Poso, Sampit, Aceh sampai kasus dukun santet di Jawa Timur, semua diisukan bersumber dari SARA, lebih khusus masalah agama, munculnya aliran sesat (Ahmadiyah) dan adanya prilaku organisasi keagamaan yang cenderung radikal dan brutal di mata masyarakat, termasuk kasus teroris dengan maraknya ancaman bom di beberapa tempat yang sering dikaitkan dengan orang-orang beragama. Agama adalah obyek yang paling gampang untuk dijadikan kambing hitam. Bentrok antar pendukung partai berbasis agama yang pernah terjadi di beberapa daerah, agama pun dianggap sebagai biang keroknya. Perkara kriminalitas yang dengan jelas disebabkan murni politik, namun agama dijadikan sasaran pengkambinghitaman. Rentetan kasus ini menjadikan sebagian orang melihat Islam Indonesia dengan persepsi Islamofobia, merujuk aksi kekerasan dan teror yang dilakukan oleh sejumlah kelompok Islam.

Tapi yang menjadi pertanyaan adalah asumsi apa yang menjadi dasar analisis tentang mana yang sumber utama dan mana yang merupakan faktor penunjang terhadap lahirnya gerakan mendirikan Negara Islam? Jika doktrin keagamaan diasumsikan sebagai sumber utama, maka sumber yang lain adalah faktor penunjang atau yang ikut mempengaruhi dan memperkuat kecenderungan. Jika tidak demikian, maka doktrin keagamaan Islam berkedudukan sebagai sumber legitimasi yang dipolitisasi.

Teori Politik Islam
Secara sederhana, agama adalah sekumpulan keyakinan, perintah, atau larangan yang menurut pengakuan pembawanya berasal dari Tuhan. Agama Islam bagi penganutnya adalah rahmatan lil alamin. Akan tetapi konsep itu membutuhkan pengkajian yang komperhensif dan kontekstual dengan memperhatikan prinsip keadilan sebagai sunatullah sehingga manusia harus memikirkan kerangka kerjanya seadil mungkin tanpa ada diskriminasi dan paksaan atas suatu golongan manusia lainnya.

Lahirnya istilah Negara Islam, yang dilekatkan dengan kata ’Islam’, pada dasarnya menggambarkan sebuah ideologi yang digunakan oleh sebuah negara yang menunjukkan sistem dan tatanan politiknya. Sistem tersebut menjadi dasar dalam menentukan sikap terhadap kejadian dan problem politik yang dihadapinya dan menentukan tingkah laku politiknya. Dalam artian, sebuah negara yang berdasarkan prinsip-prinsip agama (Islam). Sekalipun dalam berbagai tafsiran Negara Islam sendiri didasarkan pada; 1) cara memerintah negara berdasarkan kepercayaan bahwa Tuhan langsung memerintah negara. 2) hukum yang berlaku adalah hukum Tuhan, dan 3) pemerintahan dipegang oleh ulama atau organisasi keagamaan.

Kajian tentang teori politik Islam telah lama dilakukan oleh para ulama atau cendekiawan Muslim, misalnya, Al-Farabi (w. 950) dengan karyanya Ara’ Ahl al-Madinah al-Fadlilah, al-Mawardi (w. 1059) dan Abu Ya’la al-Hanbali (w. 1057),  Ibnu Taimiyah (w. 1329) dan Ibnu Khaldun (w. 1406). Sejak awal abad ke-20, pemikiran politik Islam semakin semarak ditulis dan didiskusikan. Paling tidak, ada tiga macam pemikiran terkait dengan Islam dan politik. Pertama, pemikiran bahwa Islam adalah agama yang tidak memiliki sistem politik. Tokoh yang paling vokal menyuarakan wacana ini adalah Thaha Husain (w. 1973) dan Ali Abd al-Raziq (w. 1966). Kedua, pemikiran bahwa Islam dan politik adalah dua hal tak bisa dipisahkan (al-din wa al-daulah). Tokoh utama pemikirin ini adalah Hassan al-Banna (w. 1949), Sayyid Quthb (w. 1966), Muhammad Rasyid Ridha (w. 1935), dan Abu al-A’la Mawdudi (w. 1979. Ketiga, pemikiran bahwa Islam memang tidak memiliki sistem pemerintahan, namun ada nilai-nilai etika yang dapat digunakan untuk mewarnai negara, seperti keadilan, persamaan, musyawarah, dan lain-lain. Tokoh yang terkenal menyuarakan pendapat ini adalah Muhammad Husain Haikal (w. 1956), seorang sejarawan Mesir.

Tujuan Negara
Keberadaan sebuah Negara sebagai instrumen dan diibaratkan bagaikan bahtera yang mengangkut para penumpangnya dari berbagai komponen masyarakat menuju pelabuhan kesejahteraan (adil, aman, makmur, dan bahagia jasmaniah dan rohaniah). Jadi, negara menjadi alat bagi pencapaian kesejahteraan dan kemakmuran rakyatnya. Oleh karena itu, keberagaman (pluralitas) negara Indonesia merupakan modal dasar untuk penerapan konsep masyarakat religius, makmur dan sejahtera pada bangsa Indonesia sesuai dengan semangat keberagamaan bangsa.  

Negara Pancasila
Negara Indonesia bukanlah negara agama atau dengan mazhab tertentu, namun Indonesia adalah negara agamis berdasarkan UUD 45 dan Pancasila. Dalam arti, tatanan kenegaraan Indonesia tidak didasari oleh ideologi agama atau mazhab tertentu, namun negara dan bangsa Indonesia sangat menjunjung tinggi norma-norma keagamaan. Sehingga, segala pemikiran dan usaha untuk menggeser norma-norma agama akan tersingkir dari lubuk bangsa. Disisi lain, bangsa Indonesia memiliki corak dan watak masyarakat Timur yang kental dengan toleransi, teposeliro (tenggang rasa) dan gotong-royong antar sesama yang lahir dari pluralitas negara kesatuan republik Indonesia. Oleh karenanya, segala bentuk tindakan kriminal, kekerasan dan arogansi baik dengan kemasan premanisme, intelektualisme, maupun spiritualisme agama akan mendapat reaksi keras dari berbagai lapisan masyarakat.

Perbedaan yang mendasar antara konsep Negara Pancasila dan Negara Islam menurut paham Islam ortodoks adalah, bahwa Negara Islam didasarkan pada doktrin kedaulatan Tuhan sedangkan Negara Pancasila didasarkan pada doktrin kedaulatan rakyat. Para ulama seperti Abul A’la al-Maududi, Sayyed Qutb dan Naqiyuddin al-Nabhani memandang demokrasi sebagai doktrin syririk karena menyandingi dan bahkan menggantikan kedaulatan Tuhan dengan doktrin kedaulatan rakyat. Tapi yang dianggap dapat memahami hukum Tuhan adalah para ulama, sehingga ulama memiliki otoritas untuk menerjemahkan hukum Tuhan. Negara Islam yang dipahami oleh para ulama tersebut sebenarnya adalah negara teokrasi yang tidak langsung, dimana kedaulatan Tuhan pada dasarnya tidak murni karena kedaulatan itu dijalankan oleh para ulama yang harus melakukan penafsiran terhadap otoritas agama (Al-Qur’an) untuk menemukan jabawan terhadap realitas sosial yang situasional dan dimanis. Oleh karena itu, banyaknya penafsiran yang berbeda yang diakibatkan oleh kemampuan intelektual yang berbeda, maka konsep Negara Islam pun harus terbuka terhadap tafsiran-tafsiran baru yang kontekstual dan rasional.

Konsep demokrasi yang dikritik oleh para ulama seperti Abul A’la al-Maududi, Sayyed Qutb dan Naqiyuddin al-Nabhani adalah konsep barat yang telah mengalami proses univesalisasi dan metamorfosis yang berkembang pada kondisi yang berbeda-beda sesuai dengan konteks sehingga konsep demokrasi sendiri memiliki banyak model karena perkembangan pengetahuan manusia dalam menjawab dan memenuhi kebutuhan zaman. Secara umum, konsep demokrasi sama dengan konsep ‘syura’ dalam istilah agama yang mendahulukan musyawarah dan baiat (legitimasi) masyarakat sebagaimana pernah diterapkan dalam proses terpilihanya khalifah Abu Bakar dalam sejarah al-Khulafa al-Rasyidin. Konsep demokrasi ini pada dasarnya memang didasarkan pada kedaulatan rakyat. Akan tetapi, rakyat yang didefenisikan sebagai sesuatu yang menyangkut kebaikan bersama, mementingkan kepentingkan publik dalam sebuah Negara, bukan kepentingan elite dan kelompok tertentu.

Dalam perkembang konsep demokrasi modern terjadi perpaduan sistem teokrasi dan demokrasi dimana pemerintahan negara menjadikan Islam (konsep-konsep pemerintahan Islam) acuan dalam sistem pemerintahan dipadukan dengan unsur-unsur demokrasi. Pemerintahan Negara adalah pemerintahan Islam yang terlepas dari pengaruh barat ataupun timur. Sistem ini oleh Kuntowijoyo yang disebut dengan sistem theo-demokrasi. Karena sistem ini berlandaskan prinsip-prinsip ajaran Islam dan menghargai partisipasi masyarakat dalam Negara (adanya prinsip aseptabilitas dalam istilah politik). Sekalipun dalam praktik demokrasi selalu akan melahirkan mayoritas dan minoritas akan tetapi prinsip “mayority is rule, minority is right” harus di perjuangkan dalam artian suara mayoritas akan diikuti akan tetapi tidak menindas suara kaum minoritas (toleransi).

Oleh karena itu, jika diasumsikan bahwa sumber aspirasi Negara Islam adalah doktrin komprehensif Islam yang dominan dan menjadikan Negara Indonesia menjadi Negara Islam mungkinkah masyarakat yang berbeda agama dan mazhab akan dapat hidup rukun dan damai saling berdampingan? Ataukah kehidupan rukun dan damai hanya dapat terealisasi jika masyarakat menganut satu agama/mazhab? Apatalagi kondisi sosio-budaya bangsa Indonesia yang plural, apakah rakyat Indonesia yang berbeda agama akan berlapang dada untuk menerima ketika Indonesia adalah Negara Islam?

Adalah suatu kenyataan bahwa gagasan Pancasila sebagai ideologi negara dapat diterima oleh semua golongan, baik yang mayoritas maupun yang minoritas di Indonesia. Hal ini disebabkan karena Pancasila didasarkan pada asumsi masyarakat yang plural yang terbangun dari kepribadian bangsa dan dasar pandangannya tidak mengikuti sektarianisme sehingga bersifat impersonal dan dapat dipahami oleh semua golongan. Kekuatan dan keistimewaan Pancasila adalah kemampuannya untuk mempersatukan masyarakat yang plural yang memiliki potensi konflik dan perpecahan. Di lain pihak doktrin Islam juga belum mampu mendorong pembangunan peradaban besar yang aman, damai dan sejahtera. Bahkan Islam dalam wacana dunia diidentikkan sebagai agama kaum teroris, walaupun terorisme bisa terjadi di mana saja yang mengatas namakan agama apa saja dan dalam kenyataannya.

Dengan perkataan lain cita-cita Negara Islam masih merupakan suatu ilusi, sebagaimana disebut oleh K.H. Abdurrahman Wahid. Karena itu perjuangan menegakkan cita-cita Negara Islam harus didahului dengan pengembangan pemikiran secara ilmiah, dalam arti membahas aspek ontologi berupa pengungkapan analisis tentang kondisi dan persoalan-persoalan masyarakat Indonesia dan dunia pada umumnya sebagai latar belakang dari cita-cita sebuah negara Islam. Kedua adalah aspek epistemologi, yaitu pendekatan dan teori yang dipakai untuk memahami dan memecahkan persoalan-persoalan masyarakat. Dan ketiga adalah aspek aksiologi, yaitu cita-cita dan nilai guna dari lembaga yang disebut Negara Islam. Pemikiran mengenai Negara Islam itu kemudian di bawa ke ruang publik dan terlebih dahulu dibawa ke ruang akademis.

Kajian tentang Negara Islam bagi umat Islam merupakan tantangan. Sebab, umat Islam yang menentang konsep negara modern yang dapat disebut sebagai negara demokrasi liberal atau negara hukum-demokrastis belum memiliki konsep alternatif yang rigit dan jelas yang dapat dipahami dan diterima oleh masyarakat Indonesia.

                                        *Pernah di terbitkan di Koran Identitas Universitas Hasanuddin, 2011
                        *Penulis adalah Direktur Eksekutif Pusat Studi Demokrasi Unhas (PSD-UH), mahasiswa Jurusan Ilmu Pemerintahan Unhas, angkatan 2006.

0 komentar:

Posting Komentar