Minggu, 19 Juni 2011

Topeng Modernisme


Oleh: La Ode Machdani Afala

Salah satu fenomena menarik yang mewarnai perkembangan masyarakat kontemporer, khususnya kota-kota besar adalah marak tumbuhnya wacana, trend, dan gaya hidup baru.  Perkembangan tersebut tidak lepas dari perkembangan zaman yang semakin canggih dan modern dimana manusia dimanjakan dengan berbagai kemudahan-kemudahan dalam menjalani kehidupannya. Teknologi yang canggih telah menjadikan garis lintang dan garis bujur bumi semakin pendek sehingga jarak tidak menjadi masalah lagi untuk mengetahui belahan bumi lainnya.
Dalam babakan baru kapitalisme lanjut, lahir wacana posmodernisme, sebuah wacana yang didalamnya diciptakan ruang-ruang bagi pembebasan hasrat manusia dari berbagai katubnya. Pembebasan energi libido seksual dari kungkungan Freud, pembebasan energi kehendak  dari kungkungan Marx, pembebasan tanda dari kungkungan semiotika Saussure, pembebasan energi kedangkalan dari kungkungan modernisme dan pembebasan tubuh dari kungkungan moralitas yang mengekang. Pembebasan hasrat manusia dialirkan melalui saluran bebas hasrat; lewat kanal ekonomi yang menciptakan ekonomi libido (libidonomic) yang mengarahkan kita kepada high consumtion (logika belanja), lewat kanal politik yang menciptakan politik hasrat yang haus akan kekuasaan (politik citra), lewat kanal komunikasi yang menciptakan ekstasi komunikasi, lewat kanal media yang menciptakan ketelanjangan media.
Perkembagan ini ditandai dengan perubahan paradigma dalam memahami kondisi realitas manusia. Sebuah paradigma dimana realitas sosial adalah produk dari hasrat (keinginan) dan mengarahkan manusia kepada the culture narcissime yang selalu mencari popularitas, publisitas, dan ketenaran untuk membangun image (citra). Dalam realitas sosial tersebut terbentuklah masyarakat skizoferenia dalam istilah Felix Guattari, sebuah masyarakat yang mengidap penyakit yang melakukan gerakan pembebasan diri dari berbagai aturan-aturan (Anti Oedipus).
Paradigma yang terbentuk kemudian menjadikan manusia teralienasi dari dirinya sendiri, manusia tidak lagi menjadi tuan atas ciptaannya tapi menjadi budak, manusia diarahkan pada kondisi yang temporal/ambigu yang senantiasa berubah dan melupakan prinsip hidup dan identitas diri. Inilah yang di sebut oleh Mark Slouka dengan fragmented knowledge and consciousness.

0 komentar:

Posting Komentar